You are currently viewing Novel Bumi Sapta Pesona Chapter 2

Novel Bumi Sapta Pesona Chapter 2

Novel Bumi Sapta Pesona Chapter 2

Chapter 2

Di bawah gemerlapnya lilin yang menyala, di pojok ruangan base camp yang sempit ini. Dengan pulpen digenggaman tangan yang gemetar, di atas kertas putih yang kosong. Aku mencoba kembali menulis kisah kami saat pertama kali datang ditempat ini. Di tengah malam suasana hutan yang rimbun dan luas, kedatangan kami disambut dengan suara binatang penghuni rimba. Seperti dalam sebuah negeri dongeng, suasana gelap dan dinginya malam menyatu menjadi sukma yang menusuk hingga kelubuk hati. Perasaan yang berdebar-debar dengan kencangnya, aku berusaha menulis setiap kata dengan logis, ditemani  segelas kopi hitam dengan aroma mawar merah yang membuat suasana semakin tak terkendali.

“Mas, sudah larut malam, belum tidur?” tanya Dom.

“Masih tanggung, Dom. Tidur saja duluan”.

“Yah. Kan. Masih ada hari esok. Sudah, istirahat saja dulu” jelas Dom, menasehatiku. Ia begitu peduli hari ini, entah apa yang merasukinya. Tidak seperti biasanya yang sering menganggap perkuliahan terlalu santai, kali ini ia begitu serius.

“Aku masih kepikiran, Dom. Dengan sesuatu?” tanyaku yang membuat Dom penasaran prihal apa yang membuat aku kepikiran. Ia hanya memasang muka serius seolah mencari tahu apa yang sedang mengganggu jalan pikiranku.

Akupun melanjutkan pembicaraan sambil menggoyangkan pulpen yang masih melekat erat digenggaman tangan kanan ini “Apa kau tidak merasa aneh dengan kejadian tadi sore?”.

Muka Dom yang semula serius kini memasang ekspresi bingung “Apa maksudmu, Mas? Kejadian tadi sore?”.

“Ia” pungkasku. Pikiran liar ini mulai meracuni ketenangan kami.

Namun demikian, Dom berusaha untuk menasihatiku yang tengah penasaran dengan kejadian tadi sore “Itu semua tak perlu kau pikirkan terlalu jauh, Mas. Ingat! Tujuan kita disini bukan untuk hal itu, kembali fokus”.

“Tak seperti biasanya kau menjadi kalem begini. Ayolah! Come on! Kita bersenang-senang dulu. Jangan terlalu serius dengan penelitian ini” aku mencoba meyakinkan Dom, namun ia sepertinya memang tidak tertarik dengan pembahasan kali ini.

“Apa kau lupa, Mas? Dengan janji kita saat mengurus berkas-berkas dan proposal penelitian kita kemarin? Tentu aku menginginkan semuanya segera selesai, disini tak ada signal, bahkan listrikpun tak ada. Apa kau betah berlama-lama disini? sudahlah, aku tidur duluan. Jangan bergadang sampai pagi, besok kita ada agenda dengan pak Nurdin” pungkas Dom dengan muka yang sudah sayu, ia sedang berusaha untuk menyelesaikan penelitian ini dengan segera.

“Aku takkan mungkin melupakan hal itu. Lagian, tadi siang kau juga yang bersemangat, mengapa tiba-tiba malam ini kau menjadi lesu? lagian penelitian kita masih …”.

“Kau mau tahu sesuatu tentang hutan ini bukan?” Dom terbangun dari tempat tidur dan langsung memotong perkataanku.

Belum sempat aku melanjutkan pembicaraan, ia langsung mengatakan sesuatu sambil memperagakan sosok yang horror “Aku baru mengingat sesuatu, apa kau pernah membaca di internet tentang sosok yang bernama Kuyang? Sosok yang mendiami pedalaman hutan Kalimantan, ia memiliki kepala yang bisa terbang tanpa badan, dan mencari mangsa di malam hari, membayangkanya saja sudah seram, apalagi melihatnya langsung. Tapi jika diingat dengan sosok seorang lelaki yang kita jumpai tadi sore, aku meragukanya jika itu adalah jelmaanya disiang hari. Kaupun tahu, jika aku tak mempercayai hal-hal seperti ini”.

Mendengar cerita serius yang disampaikan Dom dengan ekspresi yang seram, membuat aku menjadi merinding.

“Ya sudah, aku mau tidur duluan!” lanjut Dom mengakhiri pembicaraan.

“Aku juga mau tidur, Dom. Sisakan tempat untukku” ia hanya menghela nafas, lalu membalikan kepala dan menutupnya dengan bantal, melihat Dom yang sudah mulai tertidur, akupun segera mematikan lilin.

Bagaikan berada dimedan pertempuran, bagaimana tidak. Pikiranku yang mulai kacau membawa ku berjalan jauh dan semakin jauh masuk ke dalam jurang, terjatuh melayang tanpa dasar. Aku semakin gelisah, melihat hal ini tidak juga usai. Mungkinkah aku bermimpi, atau memang ini seuatu yang nyata. Hal yang tak bisa lagi aku bedakan. Bisikan hati kecilku semakin membebani, ketika aku berusaha untuk tetap berada dalam ketinggian, tapi nyatanya aku semakin terjatuh. Semakin dingin dalam kesepian, sementara kaki dan tangan sudah gemetar menerka-nerka dinding untuk berpaut dan lantai untuk berpijak.

Semua mulai terasa tak terkendali, dengan lantang aku berteriak “Haaa!” namun tak ada yang mendengar. Kupikir Dom akan terbangun mendengar teriakanku. Ternyata benar, perasaan setengah sadar yang baru saja aku sadari. Ini hanyalah mimpi kejatuhan, yang mungkin semua orang pernah mengalaminya. Setelahnya aku terbangun, perasaanku masih sama, seperti mimpi di dalam mimpi. “Apa?” tanyaku dalam mimpi ini. Aku berusaha membangunkan dan menyadarkan diri sendiri dengan sekuat tenaga agar aku bisa keluar dari mimpi ini. “ahhh…!” tiba-tiba sebilah Mandau menyayat leherku “Crak crak crak!” dengan mata kepala ku sendiri menyaksikan darah bercucuran keluar dari sayatan Mandau yang menancap keleherku.

Rasa sakit yang kurasa seperti nyata “Dasar bajingan!” aku mencoba menantangnya untuk bertarung dalam dunia mimpi “keluar kau!”.

“Hahahahha! Selamat datang anak muda” suara yang menggelegar memenuhi sebagian isi kepalaku, seakan dia meyakinkan ku bahwa ia lebih kuat saat berada di dalam mimpi. Ia mencoba meneror dengan ilusi-ilusi, kembali lagi aku merengek kesakitan “Ahhhh! Tanganku putus” Mandau itu terbang memotong tangan kiriku. Tak perduli sesakit apapun, itu hanyalah sebuah perasaan mimpi.

“Anak muda, berhati-hatilah!” dengan penuh keyakinan ia semakin meneror secara membabi buta.

“Kurang ajar!” aku sangat kesal dan tak mampu menahan amarah. Seketika aku melihat ratusan orang terbunuh dengan kepala yang terpenggal, menyaksikan berbagai macam penyiksaan. Teriakan anak kecil yang tak berdosa turut menjadi korban pembantaian, ada juga seorang wanita hamil yang digantung kemudian ditusuk-tusuk. Menyaksikan hal itu, sontak sekujur tubuhku menjadi gemetar hebat dan seakan mati rasa.

“Sadis. Kau pikir aku takut?” semakin kesal dan menantangnya. “kemari kau! Ayo lawan aku!” seakan aku sudah merasa paling kuat dan tak takut mati.

“Ahhh! Lepaskan! Lepaskan! Dasar keparat!” sambil menggenggam tangan seseorang yang menjambak rambutku. Berlutut duduk dan tak bisa melihat wajahnya, hanya melihat bagian kakinya yang menyeramkan. “Ahhh!” tanganya mulai meremas hingga mengeluarkan darah dari kepalaku.

“Lepaskan tanganmu dari kepalaku!” dengan sekuat tenaga mencoba untuk melepaskan genggamannya, jari-jarinya menusuk-nusuk dikepala. Dengan sangat kuat ia menendang wajahku hingga leherku terputus.

Aku menyaksikan pernyiksaan itu hingga membuatku mual dan muntah “sialan kau!”.

“Ahhh! Tolong! Tolong!” teriakanku dalam mimpi.

“Mas, bangun, Mas! Bangun!” Dom membangunkanku.

“Ada apa, Mas?” tanya Dom kembali, namun aku hanya terengah-engah menghela nafas “Huft!”.

Dengan gurauan, Dom mengejekku “jangan-jangan kau mimpi basah yah? Wah! Bertemu saiapa? Apakah Wanita pujaanmu?”.

“Tidak seperti yang kau bayangkan, ini terlalu sadis, Dom” pungkasku.

Luka dihati rasa disekujur tubuh, seperti belati, sakit itu perih, tulang itu putih tertatih dan letih, luka air mata tangis menderai cakrawala.

Mimpi ini akan terus teringat seumur hidupku, menyaksikan pembantaian dan penyiksaan. Terlalu sadis, tak ada lagi sisi kemanusiaan dalam pembantaian itu. Namun, kejadian ini menyisakan rasa dihati kecilku. Seperti menandakan sesuatu akan terjadi pada diriku.

“Dom. Apa kau pernah bermimpi sesuatu yang menyeramkan?”.

“Tentu pernah, mimpi ditinggal nikah kekasih. Ahahahaha” bukan Dom namanya jika menanggapi sesuatu dengan serius.

“Itu sadis banget! Kau mimpi seperti itu dan masih sanggup hidup? Mengapa kau tidak gantung diri saja di tugu bundaran bambu runcing. Biar jadi iconic Kal-Bar sekalian”.

“Eh. Tapi ini serius, Mas. Kau tak akan sanggup jika menjadi aku yang bermimpi ditinggal kekasih menikah. Apalagi yang menikah denganya itu masih bertetangga dengan aku” sahut Dom dengan nada serius.

Namun tanggapan seriusnya kubalas dengan gurauan “Sudahlah, Dom. Jangan sok-sok an ditinggal nikah deh. Calon aja ga punya. Mimpi!”.

Sambil memasang muka yang manyun dan menjulitkan matanya kearahku, dengan tangan kanan memegang kepalanya “Ia. Kan aku bilang tadi mimpi, bukan kenyataan, Mas!” dengan geram Dom menjelaskannya.

Mukanya yang masih memalas dan bergelut dengan kantuk, Dom menyudahi pembicaraan “Sudahlah, ini masih larut malam. Aku lanjut tidur dulu. Kalau kau mimpi buruk lagi, biar aku pindahkan kau kebelakang camp”.

Kamipun melanjutkan tidur.

Hingga pagipun tiba.

Bersambung.

Leave a Reply