Novel Bumi Sapta Pesona Chapter 1 Bimbingan Dengan Dosen Kiler
Oleh Masdiyono Oget
Jam dinding terus bergerak, menandakan waktu yang terus berjalan dan enggan menunggu. Kami masih terkurung di ruangan ini yang sangat terasa panas, meskipun sudah dipasang pendingin ruangan.
“Saya kan sudah bilang dengan kalian berdua, segera temui bagian akademik untuk melengkapi berkas-berkas kalian. Kalau terus begini kapan kalian akan selesai!” Pungkas dosen PA yang seketika membuat ruangan semakin panas, dengan lirikan mata yang tajam dibalik kacamata bulat bak mata panda yang sedang mengantuk.
“Siap bu. Siap! Segera kami laksanakan titahmu” sahut Dom.
“Saya tunggu jam dua siang nanti, di tempat ini. Kalau terlambat, tidak ada kesempatan kedua buat kalian, silahkan mengulang tahun berikutnya.” Kursi panas diruangan dosen PA membuat nyali menjadi ciut. Terlihat muka panik Dom, yang mulai memerah dan hidung yang mengembang. Segera kami berlari menuju gedung akademik untuk menyelesaikan urusan surat-menyurat yang sempat terbengkalai.
Begitulah ihwal nasib mahasiswa pemalas seperti kami, dipaksa oleh titah kuasa sang dosen. Akhirnya semua urusan surat-menyurat pun telah usai.
Sambil menunggu pukul dua siang yang masih tersisa sekitar 5 jam, aku dan Dom pun pulang ke kontrakan.
Seperti kue kering yang sedang dalam panggangan open, di tengah suasana gaduh dan riuh, Dom menyodorkan proposal penelitian dengan menyelipkan beberapa lembar uang ke dosen PA. “Saya minta tolong sama ibu, berikan kami keringanan barang kali 2 sampai 3 hari ini”.
Usaha terakhir yang bisa dilakukan, mencari jalan pintas untuk segera selesai. “Pak pak pak…!” tanpa basa-basi proposal tersebut melayang keluar ruangan melalui jendela lantai 4 tempat kami berada.
“Kalian pikir bisa selesai dengan cara seperti ini? Saya beri kesempatan terakhir buat kalian, lengkapi segera berkas yang saya minta sekarang!” tanpa berkata apapun kami langsung bergegas.
Dibalik merona wajah anggun dosen PA, terselip sesuatu yang terlepas tanpa ada makna.
“Kamu sih, Dom. Ngawur aja kerjaanya, aku pikir kamu bisa serius”.
“Yah namanya juga usaha, Mas. Apa salahnya dicoba”.
Suasana menjadi hening, situasi pusing yang entah kapan selesainya. Mahasiswa akhir memang banyak melewati cobaan.
Sambil menarik nafas tinggi, Dom memulai pebicaraan “Iya deh, aku minta maaf, suer ga akan mengulangi ini lagi”.
“Janji”.
‘Iya aku janji” sahut Dom kembali
“Ya sudah, ayo kita selesaikan misi kita, tidak ada yang tidak mungkin. Kita bagi tugas saja. Bagimana menurutmu?”.
“Oke. Aku setuju. Lets go…!”.
Dengan usaha dan kerja keras, akhirnya semua terselesaikan dengan lancar.
“Bagus, semuanya sudah lengkap, berkas kalian bisa saya terima” Dosen PA meberikan apresiasi menandakan kabar baik akan segera tiba.
“Oke, kalian berdua lanjut penelitian di perusahan yang telah kalian pilih. Saya akan persiapkan keberangkatan kalian minggu depan”.
“Serius, Bu?”.
Dosen PA hanya membalas dengan senyuman, sambil memberikan tanda tangannya di proposal yang kami ajukan.
Mulai dari sini, cerita baru kami akan segera dimulai. Aku hanya bisa mengatakan kepada Dom, satu-satunya sahabatku ini, “Berjalanlah dengan penuh keyakinan melalui sebuah proses yang nanti akan kau kenang saat merasa rindu”. Perjalanan kami saat penelitian menjadi bukti bahwa semua ada masanya, ada kalanya, ada sebabnya, dan ada akibatnya.
Pembuktian ini menjadikan kita manusia yang berkeyakinan akan agama, bukan kepada selain Allah.
Proses pencarian ini menunjukan suatu jati diri bagi pengelana hutan Kalimantan yang sedang bersemayam.
Ini hutan, bukan mall atau pasar yang berada di tengah keramaian orang. Kami akan menuju ke suatu tempat yang berada dikesunyian, seperti malam yang penuh dengan dingin disertai bisikan hutan yang memanggil.
“Akhirnya, menuju kehutan. Aku bosan di kota terus. Huuuuh.” Teriak Dom saat tiba di perusahaan, melihat pemandangan hutan yang begitu rimbun dan luas.
“Biasa aja kali, Dom. Jangan terlalu bersemangat, nanti diculik penghuni hutan baru tahu” gurauan ku pada Dom.
“Ah, kamu ini bagaimana sih, Mas. Hari gini masih percaya sama mitos? Apeh kateh dunieh, cah peh deh” Dom mengejekku dengan gurauan.
“Ha, itulah kau, Dom. Makanya jangan terlalu lama tinggal di kota”.
Kamipun melanjutkan perjalanan menuju base camp dengan menaiki sepeda motor “Kenapa berhenti?” tanya ku pada Dom.
“Tak tahu nih. Sepetinya mogok”.
Tiba-tiba motor yang kami gunakan mogok diperjalanan saat menuju base camp perusahaan yang berada di tengah hutan “aduh, bagaimana ini, Mas, coba dicek dulu”.
“Ya ampun, ini sih kehabisan bensin, bukan mogok. Lihat tuh tangkinya kosong”.
“Bisa-bisanya kita lupa mengisi minyak” sahut Dom
“Mana masih jauh nih perjalanannya. Aku coba kirim sinyal ke pak Nurdin, agar bisa menjemput kita” pungkas ku.
“Kalau seperti ini, bisa-bisa nanti malam kita baru sampai, Mas, sekarang saja sudah jam 4 (sore)” Dom mulai panik.
“Sudah tak perlu panik, coba deh lihat pemandangan disana, indah bukan. Kita tunggu disitu saja. Ayo!” kami pun menunggu bantuan tiba sambil menikmati indahnya pemandangan hutan Kalimantan disore hari.
“Keren yah pemandanganya, sayang sekali jika hutan-hutan ini terbabat habis oleh kegiatan illegal loging”.
“Ia, Dom. Bener kata kamu, aku juga merasakan bahwa hutan kita memang harus benar-benar dijaga. Tapi, Dom. Siapa yang harus menjaganya? Apakah pembabatan hutan untuk lahan pekebunan itu dibenarkan, kasian penghuni hutan ini. Mereka pasti menangis melihat rumahnya berubah menjadi lahan perkebunan sawit, keberadaan orang utan juga menjadi terancam punah, bukan hanya itu, burung rangkok yang juga menjadi iconic Kalimantan bisa terancam kehilangan ekosistemnya”.
“Ini salah siapa yah, Mas?”.
“Sebagai rakyat kecil, kita tidak bisa berbuat banyak bila dibandingkan mereka yang memiliki kepentingan. Kita terasa dijajah di tanah sendiri”.
“Ingin rasanya aku berteriak, Mas. Ahhhhh!!! Indonesia! Paru-paru dunia yang sedang berjuang melawan kehancuran hutan”.
Aku menyambut teriakan Dom, dengan rasa yang begitu menyentuh “Ibu Pertiwi, lihatlah anakmu ini, menjadi tak berdaya. Katanya reformasi? Mana buktinya? Korupsi masih meraja lela, hukum yang tumpul ke atas, hati anak pertiwi ini masih banyak yang kelaparan karena ulah tangan besi”.
Kemi berdua pun teriak bersama “Ahhh!!!”.
Saat kami berdua sedang menikmati indahnya hembusan angin dan pemandangan dari ketinggian bukit yang kami pijaki, tanpa sadar ternyata teriakan kami mengundang sekelompok hewan liar mendekat.
“Harrrg harrrg harrg” bunyi dengungan binatang buas dari arah belakang yang mengagetkan kami.
“Mas, suara apa barusan?”.
“Tak tahu, Dom” sambil menoleh kebelakang, kami melihat sekelompok macan dahan sudah mengepung.
Seketika sekujur tubuh menjadi berkeringat dingin dan bergetar, Dom mulai panik “Ah sudahlah, tolong, tolong jangan makan kami”.
“Jangan bilang kalau mereka itu sekumpulan macan dahan, seperti informasi yang disampaikan oleh pak Nurdin”.
“Sepertinya memang benar dugaanmu, Mas. Itu benar-benar sekelompok macan dahan. Haduh, apa yang harus kita lakukan sekarang?” Dom menjadi semakin panik, begitu juga dengan aku yang sama paniknya.
“Tenang, Dom, tenang, tarik nafas dalam-dalam. Lari!”.
Tanpa pikir Panjang, lari adalah pilihan terbaik saat itu. Namun tetap saja, secepat apapun kami berlari macan dahan mampu menyusul tanpa kesulitan. Hingga pada akhirnya kami kelelahan dan terpojok diantara bebatuan besar.
“Kita sudah terkepung, Mas. Bagaimana ini?”.
“Tetap tenang, Dom. Tadi aku sudah mengirim sinyal dari GPS ke Pak Nurdin untuk segera menjemput kita. Kita harus tetap bertahan sebentar lagi” Sambil menunggu bantuan tiba, kami harus bisa mengulur waktu dan bertahan dari kepungan macan dahan yang buas.
“Makan tuh telor! Makan tuh sosis!” Dom melemparkan beberapa persediaan makanan yang tersisa.
“Lempar terus, Dom. Jangan kasi kendor”.
“Ia, ini juga sedang aku lemparin” sahut Dom.
“Dom, lempar lagi. Kenapa berhenti?” tanyaku padanya.
Sambil menoleh kearahku ia mengatakan “Mas, telornya sudah habis, sosisnya hanya tersisa satu nih”
Dom pun melemparkan sosis yang terakhir, dengan rasa cemas karena takut diterkam. Tiba-tiba terdengar suara aneh yang membuat sekelompok macan dahan tersebut menjadi terduduk.
“Mas, itu ada yang datang” seorang lelaki dengan ikat kepala berwarna merah yang membawa sebilah Mandau, badanya dipenuhi tato, tatapanya sangat tajam datang menghampiri.
Dengan isyarat tanganya, sekelompok macan dahan yang mengepung kami tiba-tiba pergi begitu saja. Seorang lelaki tersebut mengendus-ngendus baju kami, sepertinya ia sedang mengenali bau aroma yang kami bawa dari kota. Tanpa sepatah katapun, tiba-tiba seorang lelaki itu pergi begitu saja.
“Hai? Kalian mahasiswa dari Pontianak yang mengirimkan sinya GPS tadi ya?” bantuan pun akhirnya tiba.
“Ia pak, kami hampir mati tertelan macan dahan” sahut Dom yang sudah mau pingsan.
Akhirnya kami selamat dari kepungan macan dahan tersebut, namun yang masih menjadi misteri adalah siapa seorang lelaki yang menolong kami saat di hutan tadi. Masih dilanda rasa penasaran, namun tetap saja, aku berusaha mengalihkan pikiranku untuk tetap berfikir positif. Tak terasa sudah 3 jam kami berada di atas mobil dan akhirnya tiba juga di base camp.
“Selamat datang, akhirnya kalian berdua sampai juga di base camp ini” sambut pak Nurdin saat melihat kami tiba dengan selamat.