Judul Naskah : Mereka Menyebutnya Senja
Oleh Risky Yuanda
Opening : Song : Tanah Air
Di sebuah taman kota. Ada dua orang remaja, usia mereka sebaya, mungkin sekitar 18 sampai 19 tahun. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Sebut saja Tejo dan Ucok. Tejo sibuk dengan ponsel yang ia genggam, sementara ucok sibuk memerhatikan dan membaca koran harian yang ia beli sebelum pergi ke taman.
Ucok memulai percakapan
Ucok : Jo, Jo, Tejo. Tejooooooo!!!!!!
Tejo tak menghiraukan suara bising yang keluar dari mulut Ucok. Ia tetap fokus menatap layar ponsel sembari senyum kecil. Entah apa yang dipikirkan pemuda itu. Mungkin, bersenda gurau dengan sang pujaan hati yang nun jauh di mata.
Tak lama kemudian Robi dari kejauhan, dan menghampiri keduanya.
Robi : Lu kenapa tereak-tereak, noh kedengaran sampe ujung parkiran taman. Ngalahin toa masjid noh suara lu.
Ucok : Noh, liat sendiri si Tejo, aku panggil tak mau noleh dia. Entah apa yang dipikirkan anak itu.
Sesekali si Tejo menoleh ke arah mereka tanpa mengeluarkan suara.
Robi : Ah, Lu macam enggak tahu si Tejo aja, Cok. Bagaimana Khusyuknya dia kalau sibuk sama sang pujaan hati. Walau pun dengan ponsel, mereka seperti dekat dan bercumbu mesra.
Robi dan Ucok tertawa, tatapan tajam dari si Tejo meredam tawa keras mereka.
Robi : Emang kenapa sih, Cok?
Seakan-akan penuh dengan tanda tanya yang besar di benak Robi.
Ucok menyodorkan koran ke arah Robi.
Ucok : Nah, kau baca itu berita di koran harian yang baru saja aku beli di pinggir jalan tadi.
Robi menangkap gesit koran yang disodorkan Ucok. Sembari membaca dengan bingung.
Robi : Diduga tidak memfotokan tiket nonton film di bioskop, seorang pemuda lelaki ini tewas tertimbun bangku biskop. (menoleh ke arah Ucok). Ah, enggak bener nih berita. Lu tahu kan, Cok, kalau sekarang media ada yang ngaco kalau bikin berita. Jangan terlalu percaya. Telaah dulu.
Ucok : Bukan!! Bukan yang itu, Rob! (menunjuk ke ara koran) Tapi yang ini.
Robi melihat kembali ke arah koran.
Robi : Sekumpulan pemuda terlibat tawuran, dikarenakan salah satu oknum yang katanya saling menghina budaya. Ah, keterlaluan yang kek begini, Cok. Enggak patut dicontoh. Enggak bener nih orang-orang yang ngelakuin hal bodoh kek begini.
Tiba-tiba di tengah perbincangan yang serius, si Tejo memotong percakapan.
Tejo : Oalah. Jadi kalian ngomongin aku yo.
Ucok : Ya Tuhan ampunilah dosa teman hamba yang satu ini. Oi, Jo, Tejo. Yang ngomong kau itu siapa. Kau saja sibuk dengan ponselmu. Sudah tidak sibuk lalu kami berdua kau fitnah.
Tejo merasa kikuk sembari memerhatikan koran harian yang ada di tangan Robi.
Tejo : Baca opo? (merampas koran dari tangan Robi)
Tejo : (membaca koran) Nah, ini nih, ra mashok pokok e. Tidak patut dicontoh, jangan sampai menghancurkan anak semua bangsa. Kasian pemuda ini.
Ucok : Yang lebih parah itu, Jo. Menunjuk tajuk koran.
Robi memotong percakapan keduanya
Robi : Langit semakin tinggi, panas terik. Haus ni, cari minuman yuk!
Temannya mengiyakan. Mereka pun bergegas mencari minuman yang tak jauh dari taman kota.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hari beranjak sore, sebentar lagi mungkin senja akan datang. Tak lama beranjak dari taman kota, datanglah 4 orang gadis yang umurnya sebaya mungin sekitar 18 sampai 19 tahun.
Mereka berjalan menuju bangku taman, tanpa suara, hanya ada suara ketukan langkah mereka saja terdengar. Dan satu orang temannya menyusul, sembil berlari, dengan napas seperti habis dikejar anjing. Namun teman yang lainnya tak menghiraukan.
Nina : Hei! (sambil menggelengkan kepala)
Teman-temannya tetap saja tak merespon sepatah kata yang keluar dari mulut Nina.
Nina : Heh. Kek begini nih. Sejuta Kartini tidak bakan mampu mengubah apa pun kalau kerjaannya hanya selfie melulu.
Teman-temannya meras kikuk, senyum-senyum kecil, dan kembali menaruh ponsel ke dalam saku mau pun tas.
Susi : Maaf, Nin. Tadi aku lagi baca artikel. Katanya, ada beberapa artis Indonesia terlibat kasus narkoba nih.
Yani : Iya, yang itu loh lagi heboh-hebohnya. Padahal cakep, ganteng dan masih muda lagi.
Dina : Sayang banget dah, banyak juga tuh alasannya. Katanya, untuk menghilangkan rasa lelah. Padahal beristirahat dengan cukup dan mengatur pola hidup yang lebih baik sebenarnya kan bagus.
Ressy : Masih muda, harus terjebak ke dalam hal seperti itu.
Yani : Ohiya, dari koran harian juga katanya lagi marak terjadinya tawuran antar sekelompok remaja. Banyak yang bilang karena Agama dan Budaya.
Susi : Dan katanya lagi, lokasi tawuran juga tidak jauh dari daerah taman ini. Jadi kita harus lebih berhati-hati.
Dina : Semakin hari, semakin banyak tindakan kriminal yang diunggah ke media cetak mau pun media sosial. Mulai dari perampokan, narkoba, tawuran, dan perampokkan. Hidup semkain keras saja, ya.
Nina : Makanya, mulai dari sekarang kita sebagai generasi muda harapan bangsa dan negara, kita harus waspada, jangan sampai terjerumus ke dalam hal-hal seperti itu.
Susi : Iya tuh, Bener. Sayang sekali rasanya kalau hidup digunakan untuk ngelakuin hal-hal yang tidak berguna.
Yani : Intinya kita harus berhati-hati. Jangan sampai salah jalan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hari semakin sore, matahari semakin turun. Langit mulai memerah, kehadiran yang di tunggu anak-anak jaman sekarang. Iya, mereka selalu menunggu kedatangan senja, sembari mengabadikan dengan ponsel mereka. Tak lama kemudian datanglah ketiga pemuda tadi.
Ucok : Ada seger nih di depan mata.
Tejo : Setelah haus, datanglah kenikmatan di depan mata.
Robi : Ya Tuhan, setelah Kau buat langit begitu indah, kau ciptakan juga bidadari yang Engkau tampakkan di depan bola mata.
Mereka menghampir gadis itu.
Sungguh hal yang tak diduga. Jauh dari ekspetasi dari khayalan mereka. Sekelompok pemuda dengan membawa alat tumpul seperti kayu dan besi, serta menyeret satu orang pemuda yang sudah babak belur entah dihajar di mana. Lukanya terlihat sekali, serta darah berceceran sekitar jalan taman.
Remaja yang sedari tadi di taman jelas saja merasa ketakutan, tak berani beranjak sekali pun dari tempat mereka berpijak.
Pemuda itu diikat, dan dihajar bergantian oleh 3 orang pemuda lainnya. Dan satunya mengancam ke arah Ucok, Tejo dan Robi. Kalian mau seperti bocah ini? katanya. Jangan sok-sokan kalian, sambungnya lagi dengan memasang wajah sangar. “Pergi kalian”. Katanya.
Mereka kalang kabut bergegas meninggalkan taman. Harap menikmati senja di langit yang maha luas, malah tak sesuaui harapan. Bagaimana nasib dari pemuda yang dihajar habis-habisa itu. Begitu pikiran mereka.
Pemuda itu menjerit. Terdengar suranya di taman. Ternyata beberapa pemuda yang menghajarnya tadi sudah pergi dan meninggalkan ia di taman dengan badan terikat di kursi taman.
——————————-Puisi——————————-
——————————-Lagu Ibu Pertiwi——————————-